DEKLARASI DJUANDA
JAKARTA – Desember adalah bulan bersejarah bagi Indonesia
dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan
internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal
13 Desember 1957, dan kedua, Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut
pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah
Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
Deklarasi tersebut juga menyebutkan bahwa lalu lintas
yang damai melalui perairan-perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin,
selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara
Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.
Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi
laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi
berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan,
keamanan, dan pertahanan nasional. Presiden Abrurrahman Wahid kemudian
menetapkan tanggal 13 Desember sebagai hari Kesatuan Nusantara Indonesia.
Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan.
Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan. Namun dalam perjalanannya, sampai sekarang ini, bangsa ini masih saja dihadapkan pada tidak adanya kesamaan visi dalam membangun negara kepulauan.
Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan.
Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan. Namun dalam perjalanannya, sampai sekarang ini, bangsa ini masih saja dihadapkan pada tidak adanya kesamaan visi dalam membangun negara kepulauan.
“Archipelagic Policy” Berdasarkan kedua
peristiwa kelautan tersebut, negara kepulauan Indonesia memiliki posisi
geografis yang sangat strategis yang melintang di antara dua samudera besar,
yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dan di antara dua benua, yaitu
BAsia dan Benua Australia. Indonesia memiliki kekayaan alam yang beraneka
ragam, baik di darat maupun di laut. Namun demikian, sampai saat ini berbagai
keunggulan dan keunikan Indonesia tersebut belum termanfaatkan secara optimal.
Catatan penulis dari beberapa kali forum diskusi yang
membahas permasalahan negara kepulauan—termasuk diskusi di Sinar
Harapan--terdapat beberapa permasalahan krusial yang dihadapi Indonesia sebagai
negara kepulauan. Pertama, bangsa Indonesia sampai saat ini belum memiliki
kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan (archipelagic policy)
yang terpadu. Kebijakan yang ada selama ini hanya bersifat sektoral, padahal pembangunan
di negara kepulauan memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi.
Kedua, lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan
makna Indonesia sebagai negara kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Apalagi, itu belum ditunjang dengan sumber daya manusia yang
andal. Saat ini Indonesia hanya memiliki 0,8% sumber daya manusia (SDM)
kelautan yang lulus S1, S2, dan S3.
Ketiga, bangsa Indonesia sampai saat ini belum menetapkan
batas-batas wilayah perairan dalam. Padahal, wilayah perairan dalam mutlak
menjadi kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya tidak boleh ada satu kapal asing
pun yang boleh masuk ke perairan dalam Indonesia. Selain itu, bangsa Indonesia
juga memiliki kedaulatan mutlak untuk mengelola sumber daya laut yang berada di
wilayah perairan dalam.
Keempat, pertahanan dan ketahanan negara dari sisi matra
laut yang mencakup: (1) belum optimalnya peran pertahanan dan ketahanan laut
dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; (2) ancaman kekuatan asing yang ingin
memanfaatkan perairan ZEEI; (3) belum lengkapnya perangkat hukum dalam
implementasi pertahanan dan ketahanan laut; (4) masih terbatasnya fasilitas
untuk melakukan pengamanan laut; (5) makin meningkatnya kegiatan terorisme,
perompakan, dan pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia; dan (6)
masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum.
Menuju “Archipelagic State” Ada lima tindakan
yang mesti ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pertama, meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan
geostrategis kepada seluruh komponen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia
selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga
keutuhan NKRI dan sumber daya alamnya.
Kedua, mengubah orientasi pembangunan dari land based
oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based
oriented adalah mencakup darat, laut dan udara. Berdasarkan hal tersebut,
strategi pembangunan 25 tahun ke depan harus berpatokan pada road map menjadi
negara maritim yang besar, kuat, dan makmur, dan didukung oleh pertanian yang
maju dan industri yang modern.
Ketiga, menentukan batas-batas wilayah perairan pedalaman
dan menetapkannya dalam bentuk peraturan pemerintah. Dengan adanya penetapan
batas-batas perairan dalam tersebut, kapal-kapal negara lain tidak
diperbolehkan melewati perairan tersebut tanpa kecuali. Selain itu, perlu juga
dikaji tentang potensi yang terkandung dalam perairan pedalaman.
Keempat, mengembangkan sistem pendidikan berbasis kelautan
pada sistem pendidikan nasional. Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk
mengalokasikan dana yang cukup bagi pengembangan pendidikan dan pelatihan
kelautan di wilayahnya dan menerapkan teknologi kelautan tepat guna kepada
masyarakat khususnya nelayan.
Kelima, mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia
dengan negara-negara tetangganya di kawasan laut. Beberapa yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah perbatasan dengan Filipina, khususnya di
sebelah Selatan Mindanao antara Pulau Merampit, Mianggas, dan Marore yang oleh
Filipina dianggap berada di dalam perairan yang termasuk dalam persetujuan
Amerika-Spanyol 1898. Walaupun arbitrase Max Huber 1928 telah mengakui bahwa
Pulau Mianggas adalah Pulau Hindia Belanda yang kini menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Indonesia.
Selain itu, juga menetapkan garis batas yang menghubungkan
antara batas batas laut wilayah antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka
dan antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura, khususnya garis
batasnya di sebelah barat Pulau Nipah sampai ke ujung Selat Malaka, dan di
sebelah timur antara Batam dengan Changi.
Dalam memperingati Hari Nusantara ini hendaknya semua unsur
masyarakat, politisi, pemerintah, aparat keamanan dan semua stakeholders
kelautan lainnya dapat berperan aktif untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara
kepulauan yang kuat. Orientasi pembangunan ekonomi nasional berbasis kepulauan
sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Demi kesejahteraan masyarakat dan
menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Suhana, Kepala
Riset dan Kebijakan Kelautan pada Pusat Studi Pembangunan dan Peradaban Maritim