Alhamdulillah, hari ini adalah hari pertama kami
dinas di tempat yang kedua yaitu tepatnya di BRH (Baitul Ruqyah Asy’Syariyyah Wal Hijamah). Tempat praktik kami yang
beralamatkan di Jalan Nyi Pembanyun No. 14, Kota Gede, Yogyakarta ini tidak
mendirikan papan pemberitahuan atau baliho yang cukup besar yang menyebabkan kami
kesulitan meneuknannya dan lagi-lagi kami salah jalan lebih kurang 500 meter
sehingga membuat kami harus memutar berbalik arah menggunakan armada roda dua.
Perlahan kami mengamati dengan seksama tanda tempat BRHnya. Setelah diberi
petunjuk oleh salah seorang warga hanya butuh waktu 1 menit kami langsung
menemukan tempatnya. Syukurlah...
Tempat
praktik kami kali ini walaupun tidak terlalu luas, namun terasa asri dan lebih
nyaman dibanding dengan yang sebelumnya. Ya, terus terang saja melihat tempat
yang bisa dibilang seperti villa ini langsung membuat saya merasa betah tinggal
di dalamnya. Penataan ruang receptionist,
kebun bunga dan ruang perawatan untuk pelayanan pasien yang
rapih terasa seperti rumah sendiri juga dilengkapi dengan obat-obatan herbal,
jajanan retail, poster, berkas do’a,
serta penyediaan bacaan majalah islami gratis bagi pengunjung. Walau kecil,
sungguh penataanya sangat rapih, bersih serta menerapkan nilai-nilai islami
dalam setiap sudut bangunannya, ada Ruang Ruqyah, Ruang Perawatan Bekam Putra
dan Bekam Putri.
Sebuah
tempat praktik yang termasuk keperawatan alternatif dan komplementer ini
memiliki 2 jenis pelayanan, sesuai namanya yaitu Terapi Ruqyah dan Terapi
Hijamah (Di Indonesia dikenal dengan “Bekam”). Awal kami (saya, amin dan suip) mengetuk
pintu dan mengucapkan salam, terdengar sahut jawab salam yang hangat dari
dalam. Ya, beliau adalah Bapak Nur salah satu pengelola di BRH tersebut. Dengan
ramah dan lemah lembut beliau langsung mengetahui bahwa kami adalah mahasiswa
pengganti dinas yang sebelumnya dari institusi yang sama. Tak lama kemudian
kami dipersilahkan masuk ke ruang dalam untuk meletakkan barang bawaan dan
berorientasi tempat secara mandiri. Di awal pagi ini langsung banyak pasien
yang datang, oleh karenanya Bp. Nur tidak sempat mengorientasikan kami. Selang
beberapa menit saja sudah tiga pasien beserta keluarganya datang.
Tempat
praktik pengobatan yang di bawah naungan Assosiasi Ruqyah Syar’iyyah Indonesia
(ARSYI) ini merupakan salah satu dari beberapa tempat pengobatan dengan
berkedudukan di Kota Yogyakarta. Di antaranya di kota yang lain di Indonesia
adalah di Jakarta sebagai Pusat ARSYI, Surabaya, Medan, Pemalang, Pekalongan,
dan masih banyak lagi.
Setelah
saya kaji lebih dalam dari beberapa sumber, ternyata tempat praktik kami yang
kedua inipun didirikan oleh seorang yang bukan berlatarbelakang pendidikan
kesehatan juga seperti di “Enggal Dhangan” Klaten yang pernah saya ceritakan
minggu lalu. Pendiri BRH ini adalah Ustad H. Fadlan Abu Yasir, Lc (Penulis Buku
: “Menjadi Muslim Sehat dan Hebat dengan Ruqyah Syar’iyyah”). Beliau adalah
salah satu alumni Universitas Madinah di Timur Tengah. Beliau dan keluarga
mendirikan BRH atas dasar visi ingin menjadikan ini sebagai salah satu solusi
hidup sehat yang islami dalam bentuk pengobatan juga sebagai media dakwah
kepada setiap klien/pasiennya yang berobat di tempat tersebut.
Benar-benar
tak ku sangka, tempat pengobatan sederhana yang didirikan di sebuah kota tua
awal terbentuknya Kerjanaan dan Negara Indonesia-Yogyakarta ini menyimpan
banyak cerita prestasi yang bisa dibilang bisa mengangkat nama bangsa Indonesia
di dunia internasional walaupun tak banyak yang menyadarinya. Bagaimana tidak,
BRH yang didirikan pada tahun 1995 ini, ternyata sering dikunjungi berbagai
peneliti/ilmuan yang datang dari berbagai manca negara diantaranya seorang doktor
dari Jepang, berrbagai Ilmuan dari Indonesia bahkan pada hari ini BRH
kedatangan empat orang tamu dari Negeri Jiran Malaysia yang didampingi oleh
salah seorang pegawai Rumah Sakit Nur Hidayah Yogyakarta. Mereka adalah
mahasiswa yang ingin meneliti hubungan antara disiplin ilmu medis dengan ruqyah
yang secara empiris sudah terbukti kebenarannya bahwa bisa menyembuhkan
berbagai macam penyakit seperti Chest
Pain, Epilepsi, dan berbagai gangguan jin serta ilmu sihir.
Pegawai
di BRH ini bukan merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan dari
daerah jauh, kebanyakan mereka adalah warga, sanak kerabat Ust. Fadlan yang
tinggal di daerah Yogyakarta sekitar BRH. Dari sini saya menyadari bahwa yang “Kecil
bukanlah Kerdil”.
Tidak
hanya itu yang membuat saya kagum, Pak Nur, pegawai bagian receptionist dan administrasi ini mengungkapkan pengalaman hidupnya
yang membuat kami sempat ter-enyuh mendengarnya. Beliau bercerita bahwa dulu
beliau adalah seorang yang ingin bekerja di dunia Marketing (Pemasaran). Sudah 17 perusahaan pernah beliau ajukan
diri dan semuanya diterima, tetapi karena kurang kepercayaan diri beliau
membatalkan itu semua. Beliau dahulu pernah bekerja di Malioboro Mall sebagai
pramuniaga sekitar tahun 2006 dengan gaji +/- Rp. 400.000,-. Pada zaman
tersebut sudah termasuk cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup standar di
Yogyakarta. Kemudian beliau melanjutkan karir menjadi seorang manajer di sebuah
Perusahaan Samsung di Yogyakarta juga yang bisa dibilang gajinya sebulan bisa
lebih dari cukup jika hanya untuk sekedar gonta-ganti sebuah sepeda motor.
Beliau
yang lulusan S2 Fakultas Dakwah UIN ini setelah beberapa tahun bekerja,
kemudian merasa gersang, kurang nyaman dengan pekerjannya disamping masalah
keluarga sehingga mendorongnya mencoba memeriksakan diri datang ke BRH. Setelah
berkonsultasi dengan Ust. H. Fadlan tentang masalahnya tersebut, akhirnya Pak
Nur ditawarkan oleh Ust. Fadlan untuk mencoba bekerja di BRH, dan sampai
sekarang ini alhamdulilllah sudah menjadi pegawai tetap sekitar 5 tahun yang
silam beserta istrinya yang ditarik bekerja di luar menjadi pegawai BRH juga.
Beliau menuturkan bahwa jika mau membandingkan mungkin bisa dihitung satu per
seratusnya kali lipat (1/100) besarnya gaji yang sekarang dengan yang dahulu.
Meskipun begitu, beliau tidak mengapa. Walaupun dengan resiko yang jauh berbeda
itu, beliau dari BRH belliau bisa belajar mengaji, belajar praktik bekam dan
ruqyah serta menerapkan ilmu manajemennya. Beliau dan keluarga akhirnya
menemukan titik kenyamanan dalam hidupnya beserta keluarga yang tidak bisa
dinilai dari apapun.
Dan
dari sini saya menyadari bahwa menemukan “Titik Kebahagiaan Hidup” itu lebih
penting dibanding segalanya. MasyAllah...
Sobatku,
Mari
berfikir dan merenung sejenak, setiap usaha yang kita lakukan semuanya mustahil
tanpa adanya kerja keras, ketekunan, kesabaran hingga bantuan ulur tangan
kerjasama orang lain. Sekecil apapun itu, sabar dan perjuangkanlah, hingga
saatnya keberhasilan itu dapat diraih. Keberhasilan itu tidak datang, tetapi
kita harus menjemputnya. Andai kata kecil hasil yang didapat, tetapi ingatlah
bahwa “kecil bukanlah kerdil”, berhasil tidak dinilai dari materi
tetapi dinilai seberapa bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu mencari
penghargaan orang lain, hargai dirimu, maka orang lain akan menghargaimu.
Tanyakan
hatimu, apakah keadaanmu saat ini sudah sesuai dengan kebutuhanmu bukan
keinginanmu. Tak usah takut gagal dan jatuh, temukan “titik kenyamanan hidupmu”.
Satya
Putra Lencana
Yogyakarta,
26 Februari 2015