BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inflammatory Bowel
Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang
melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum
diketahui jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis
ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka
dimasukkan dalam kategori indeterminate
colitis (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua
tipe Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain
Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian
dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar,
dan dapat terlihat dengan colonoscopy.
Colitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang memiliki dampak
emosional dan sosial yang amat sangat pada pasien yang terkena, dan ditandai
dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik (Basson,
2011).
Etiologi
pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor
lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti
bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu
dengan colitis ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya
perkembangan penyakit (Basson, 2011).
Histocompatibility
human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang sering teridentifikasi
pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini tidak berhubungan
dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan peningkatan risiko
untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan,
meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial
dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga meningkatkan
permeabilitasnya (Basson, 2011).
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar
orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per
tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson,
2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15
dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade
kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada
Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih
daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih
sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana cara menegakkan diagnosis colitis ulseratif?
- Bagaimana penatalaksanaan colitis ulseratif?
C. Tujuan
- Mengetahui cara menegakkan diagnosis colitis ulseratif.
- Mengetahui penatalaksanaan pada kasus colitis ulseratif.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Definisi
Inflammatory
Bowel Disease (IBD) adalah penyakit
inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat
ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu
colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal
tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate
colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia
dan radiasi (Djojoningrat, 2006). Colitis ulseratif
merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory
Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease,
yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis
ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan
dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).
B.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar
orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per
tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson,
2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15
dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade
kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering
daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit
putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga
lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).
C.
Etiopatogenesis
Etiologi pasti
dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor
lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti
bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu
dengan colitis ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya
perkembangan penyakit (Basson, 2011).
Histocompatibility human leukocyte
antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang sering teridentifikasi pada
pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini tidak berhubungan
dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan peningkatan risiko
untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan,
meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial
dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga meningkatkan
permeabilitasnya (Basson, 2011).
Sementara
penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari
penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi
faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
- Faktor
familial/genetik
Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan orang Cina. Hal
ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit
ini.
- Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit
ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus untuk kemungkinan penyebab
infeksi. Di samping banyak usaha menemukan agen bakteri, jamur, atau virus,
belum ada yang sedemikian diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan
yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.
- Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun
dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang
dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis, perikolangitis) dapat
mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti
glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme
imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan
colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic
cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis
penyakit colitis ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana
pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.
- Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga
telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya
kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap
stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
- Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara
operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa
insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang
menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko
penyakit colitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang
bukan perokok.
Ada bukti aktivasi imun pada
IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel
lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah
diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi
spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
pathogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu
mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T
atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu
autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien
menghasilkan respon imun inisial melawan antigen luminal, yang tetap dan diperkuat karna kesamaan antara antigen luminal dan protein tuan rumah.
Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh
sitotoksisitas seluler antibody-dependent
atau sitotoksisitas cell-mediated secara
langsung.
Imun respon cell-mediated
juga terlibat dalam pathogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel
mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Colitis
ulseratif dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan
IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin
proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama
pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β)
menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang
kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis.
Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi
superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil,
mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,
komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan
vasodilatasi dan edema (Ariestine, 2008).
D.
Manifestasi Klinis
- Gejala Klinis
Gejala
utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali
dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan,
bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung
sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.
Derajat
klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).
Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang
terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer
mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi,
hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa
sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
Perjalanan klinis colitis
ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1
tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun
demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala
minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon
dan intensitas radang (Ariestine, 2008).
Tabel
1. Truelove and Witts’ classification of severity of ulcerative colitis
Activity
|
Mild
|
Moderate
|
Severe
|
Number of
bloody stools per day (n)
Temperature
(°C)
Heart rate
(beats per minute)
Haemoglobin
(g/dl)
Erythrocyte
sedimentation rate (mm/h)
|
<4 o:p="">4>
|
Afebrile
Normal
>11
<20 o:p="">20>
4-6
Intermediate
Intermediate
10.5-11
20-30
>6
>37.8
>90
<10 .5="" o:p="">10>
>30
Temuan fisik pada colitis ulseratif
biasanya nonspesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang
perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam,
takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang
lebih berat (Ariestine, 2008).
Manifestasi ekstraintestinal bisa
dijumpai, yaitu :
- Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan
sacroilitis (berhubungan dengan HLA-B27)
- Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum
- Mata : episkleritis, iritis, uveitis
- Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing
cholangitis), primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic
hepatitis
- Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary
embolus (hypercoagulable state) (Fauci, 2009).
- Gambaran Laboratorium
Temuan
laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya
perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit
kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat
pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia,
mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang
ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang ulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris
yang berhubungan.
Pemeriksaan
kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negative.
Pemeriksaan
antibody p-ANCA dan ASCA (antibody Saccharomyces cerevisae mannan) berguna
untuk membedakan penyakit colitis ulseratif dengan penyakit Crohn (Ariestine,
2008).
- Gambaran Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pada foto
polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon. Tetapi
kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal,
sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur.
Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa
feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena
maka materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic
megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan
tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat
dideteksi adanya pneumoperitoneum,
terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.
Foto polos
abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium
enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda
perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.
b. Barium enema
Barium
enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan pada
kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna
merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari
berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi
minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif
peroral.
Pemeriksaan
barium enema dapat dilakuka dengan teknik kontras tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium
enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien
dengan colitis ulseratif
Gambaran
foto barium enema pada kasus dengan colitis ulseratif adalah mukosa kolon yang
granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon ttampak menjadi kaku
seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh
kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan
keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka
rectum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya colitis
ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan menyebar kea rah proksimal secara
kontinu. Jadi rectum selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi
lebih ringan dari bagian proksimalnya.
Pada
keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka perubahan juga dapat
terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan
dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped
caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis,
terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button
ulcers. Pasien dengan colitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi
adenokarsinoma kolon.
c. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan
ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan yang
diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk
evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.
Sebelum
dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan
menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air
putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum
pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
Pada
pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif didapatkan penebalan dinding
usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon
yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus
menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon.
Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongn
transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dindng
usus dapat pula dilihat adanya hypervascular
pada dinding usus tersebut.
d. CT Scan dan MRI
Kelebihan
CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan
ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komlikasi ekstralumen kolon
yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah
mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang
cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT
Scan pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan
kalau terpotong secara cross-sectional maka
terlihat gambaran target sign. Komplikasi
di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula
atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya
(Ariestine, 2008).
- Gambaran Endoskopi
Pada
dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon
secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar /progresif ke
proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa
lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolon
sebelah kiri (left side colitis), dan
8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada
colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan
nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik.
Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah
mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi
landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan
colitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif
tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan
radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine,
2008).
Berikut
ini adalah perbedaan gambaran lesi endoskopik IBD pada colitis ulseratif dengan
Crohn’s Disease (Djojoningrat, 2006) :
Tabel
2. Gambaran lesi endoskopik IBD
Gambaran
|
Colitis ulseratif
|
Crohn’s Disease
|
Lesi inflamasi
(hiperemia, ulserasi, dll)
|
+++
|
+
|
Bersifat
kontinu adanya skip area (adanya mukosa normal di antara lesi)
|
0
|
+++
|
Keterlibatan
rectum
|
+++
|
+
|
Lesi mudah
berdarah
|
+++
|
+
|
Cobblestone appearance / pseudopolip
|
+
|
+++
|
Sifat ulkus :
|
|
|
Terdapat pada
mukosa yang inflamasi
|
+++
|
+
|
Keterlibatan
ileum
|
0
|
++++
|
Lesi ulkus
bersifat diskrit
|
+
|
+++
|
Bentuk ulkus :
|
|
|
Diameter >
1 cm
|
+
|
+++
|
Dalam
|
+
|
+++
|
Bentuk linier
(longitudinal)
|
+
|
+++
|
Aphtoid
|
0
|
++++
|
Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat diagnostik
(karakteristik)
- Gambaran Histopatologi
Yang
termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa, perubahan
epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa, perubahan
permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta
(distorsi, bercabang, memendek). Pada kolon normal, permukaan datar, kripta
tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat
muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina
propria.
Perubahan
epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta permukaan
viliform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi penambahan dan
perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya
ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan stadium penyakit, apakah
stadium akut, resolving atau
kronik/menyembuh (Ariestine, 2008). Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah adanya
abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear
di lamina propria (Djojoningrat, 2006).
Tsang
dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit colitis ulseratif
menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus
dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.
Ø Kriteria mayor colitis ulseratif :
1.
Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
2.
Basal plasmositosis
3.
Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
4.
Abses kripta
5.
Kriptitis
6.
Distorsi kripta
7.
Permukaan viliformis
Ø Kriteria minor colitis ulseratif :
1.
Jumlah sel goblet berkurang
2.
Metaplasia sel Paneth
Tetapi
pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari
colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran
mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang penderita dapat
ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan (Ariestine,
2008).
E.
Penatalaksanaan
Mengingat
bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada
penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen
proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok
rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian
antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja usus
dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan
akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung
komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA)
dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka
diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti
6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF
(infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan
masif, ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi
surgikal (Djojodiningrat, 2006).
Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid,
yang mempunyai efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan
untuk menginduksi remisi pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati colitis
ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk menurunkan
respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis prostaglandin.
Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan
dengan nekrosis luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik
intravena diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson,
2011).
Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi
antihistamin. Karena histamin terdapat pada enterochromaffin
like cell, sel mast dan nervus intramural pada traktus gastrointestinal,
yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi
motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi,
stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta meningkatkan pembentukan
kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor H1, H2, H3 dan H4.
Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan karakterisitik dari
IBD kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan
meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).
Berdasarkan
Crohn’s and Colitis Foundation of
America, diet bukan merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun
beberapa makanan spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan
ikut berperan dalam proses inflamasi (WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada
colitis ulseratif, serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien,
contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur),
karena jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat
menempel pada dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan
memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan
dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang
bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh
serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas,
bubur, dan nasi putih (Collitis UK, 2011).
F.
Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit
ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya
stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis
ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya
kanker pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Arisetine,
Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif
Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera
Utara - Fakultas Kedokteran Medan. www.scribd.com/affannurrochman/d/40473357-Kolitis. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam 22.00
WIB.
Basson,
Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam 22.00
WIB.
Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative
Colitis. http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam 22.00
WIB.
Djojoningrat,
Dharmika. Inflammatory Bowel Disease :
Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 Edisi ke-IV. Hal.
384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Fauci,
Anthony S., et all. 2009. Inflammatory
Bowel Disease. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. Hal. 836-840. United States of America
: Mc.Graw Hill.
Fogel,
W.A., et all. 2005. The Role of Histamine
in Experimental Ulcerative Colitis in Rats. Inflammation Research Volume
54. http://www.springerlink.com/content/h2341286554185w7/.
Diakses tanggal 17 April 2012. Jam 22.00 WIB.
WebMD.
2012. Creating an Ulcerative Colitis Diet
Plan. http://www.webmd.com/ibd-crohns-disease/ulcerative-colitis/creating-an-ulcerative-colitis-plan.
Diakses tanggal 17 April 2012. Jam 22.00 WIB.