Ayah, maafkan aku , . . |
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Ayah meninggal karena kanker paru-paru stadium akhir saat
saya berusia 6 tahun. Beliau juga meninggalkan ibu dan adik saya yang masih
berusia dua tahun. Sejak saat itu kehidupan kami sehari-hari sangat sulit.
Setiap hari ibu bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup menyelesaikan
masalah perut saja.
Saat saya berusia 9 tahun, ibu menikah dengan seorang pria
dan menyuruh kami memanggilnya ayah. Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk
selanjutnya dia yang menopang keluarga kami.
Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya seorang yang sangat
rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa saja dalam keluarga yang
membutuhkan tenaganya akan dia lakukan, selamanya tidak membiarkan ibu untuk
campur tangan.
Sehari-hari ayah tiri adalah orang yang pendiam. Usianya
kira-kira empat puluhan lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi
bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di
wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yang cekung.
Ayah tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi
kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik
berwarna coklat kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok
menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh karenanya
saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.
Dalam ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi
segala persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya
dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, ayah tiri telah
memberikan saya sebuah tamparan yang sangat keras.
Teringat waktu itu ayah tiri baru saja menjadi anggota
keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu hari saya mencuri pipa rokoknya
untuk saya sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selama beberapa hari merasa gelisah
dan tak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi
dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan ayah tiri, dia
menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak lupa dia memberikan saya satu
tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, ibu menghampiri dan
memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jangan pernah menyentuh pipa rokok
itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”
Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri
bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa
meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap ayah
tiri, tidak peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya, saya tidak pernah
menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat ayah tiri sama
jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya terhadap ayah
tiri sangat dingin, acuh tidak acuh, lebih-lebih jangan harap menyuruh saya
memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit
kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk
rumah segera melihat kedua tangan ibu memegangi perut sambil berteriak
kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiran besar keringat dingin
bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis
mencari ayah tiri yang bekerja disawah. Mendengar penuturan kami, dia segera
membuang cangkul ditangannya, sandal pun tak sempat dia pakai.
Sesampai dirumah tanpa berkata apapun segera mengendong ibu
kerumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri kembali
kerumah, hari sudah larut malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas pundak
ayah tiri.
Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal,
tertawa dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian
pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran keringat
sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai, jatuh pada
sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.
Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya
memahami penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada
ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya mengalami
kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya
pada ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga
masih sekolah di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga
semua menggantungkan ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa
ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang kerumah untuk
membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah menetapkan niat, bersikap teguh tidak mau
mengalah. Saat itu ayah tiri tidak mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar
menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya
sedang memikirkan apa.
Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu
menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan
membaca surat penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterima diperguruan
tinggi!” teriaknya.
Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat dan
membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak mengenalinya.
Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa
ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya juga banyak.
Saya mengambil poci teh dimeja makan dan dengan sikap sangat
hormat menuangkan teh itu satu gelas penuh untuk ayah tiri. Hitung-hitung
sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnya selama satu tahun!
Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnya penuh
dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis, mulutnya tak
henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi
sejumlah 4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang
tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500
yuan.
Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi. Saat makan
malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ibu
menghela napas panjang sedangkan ayah tiri berada disampingnya sambil merokok,
sibuk memperbaiki alat tani ditangannya, saya tidak tahu mengapa hatinya begitu
tenang? Suara napas ibu membuat hati saya hancur luluh lantak.
“Sudahlah saya tidak mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya
berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu
mulai menangis…….. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yang keras
menepuk-nepuk pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok ayah pergi
berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”
Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri
dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang sekejap terang dan
gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit getir kehidupan.
Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnya menyembunyikan
perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan ringan menyebar didepan
matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang pun tahu apa yang sedang dia
pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya tidak tenang.
Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah tiri pergi ke
kabupaten. “Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari harapan hati saya
tersirat keluar.
“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakan apakah bisa
pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya
bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya menunggu didepan desa, memandang kearah jalan
kecil yang berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam
dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan
berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung pada
dirinya.
Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang. Saat saya
melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu cemas, akhirnya
bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air hangat untuk merendam
kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang pergi 40 kilometer perjalanan
cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu berkata kepada ayah tiri.
Saya mengamati wajah ayah tiri dengan saksama, dan menemukan
bahwa dia bukan lagi seorang pria yang masih kuat dan kekar seperti dulu.
Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru, dahinya hitam penuh dengan kerutan,
rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan
urat hijau.
Memang benar, ayah tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu
melepaskan sepasang sepatunya yang hampir rusak. Dibawah sinar temaram lampu
neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam
pandangan saya, tak tertahankan hati saya merasa bersedih, air mata saya
diam-diam menetes keluar……..
Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, ayah tiri
mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisa bangun dari
tempat tidur.
Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibu berkata, “Nak,
kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada diri sendiri.
Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat mengharapkanmu
memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”
Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara
lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”
Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke
kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya
jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan
keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan
mengantar sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan
hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan
kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya
seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan!
Dengan demikian saya selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat
itu saya sudah kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang
hal-hal menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu
tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh dengan
senyum kebahagiaan.
Saya bercerita tentang keadaan kota, adik membelalakkan mata
dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah, teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel
dan laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya
saya mengeluh dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri
sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali
kuliah. Seperti biasa ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan
beberapa kali ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia
membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat berat.
Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan,
agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak
mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya
sangat menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu,
biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper baju
yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat sepasang matanya berkaca-kaca. Hati
saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin
memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang telah mengendap lama ini akan terlontar
dari mulut, mendadak tertelan kembali.
Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri masih
berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya
berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun
kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira perpisahan kali
ini untuk selamanya.
Dua bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri
meninggal dunia. Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi
kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan
linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat
kehitaman yang tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal yang paling disesali ayah adalah tidak
seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat
ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya.
Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa
sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih
ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan
hati-hati saya ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya
kabur karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak
hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung
dengan ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak
kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan lagi.
Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek, sebab keluarga
ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah tiri dengan tegas mempertahankan hubungan
mereka, kakek terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah
tiri baru mau merestui pertunangan mereka.
Demi anak satu-satunya, ayah dari ayah tiri itu pergi bekerja
di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi
kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang ayah untuk
selamanya. Barang peninggalan satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya
semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia
hormati dan sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan
merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan
membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung
halamannya, tetapi ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk
menikah dengan ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah,
yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas
darinya.
Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tiri memberanikan
diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu, saya dan adik. Sejak
awal dia menolak mempunyai anak sendiri, dia berkata kami ini adalah anak
kandungnya.
Selesai mendengarkan penuturan ibu, tak terasa wajah saya
penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya
memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan
yang amat berat bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia
sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke
arah kotak kayu.
Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut
kepadamu. Didalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia
bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin
berhutang pada orang lain….”
Dengan sesenggukan saya menerima kotak kayu itu dan
membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas didalamnya. Saya
membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas
ranjang.
Ibu saya buta huruf, kertas-kertas yang ada dalam kotak itu
bukan surat hutang seperti yang dikatakannya, melainkan tanda terima jual
darah! Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan
saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah
alroji baru…
“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air
mata bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada
dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap tak akan
memanggil kembali bayangannya.
Ketika saya pergi meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok
coklat kehitaman itu, saya akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya,
mengenang ayah tiri untuk selamanya.
.... "Jangan sampai menyesali perbuatan anda selama
ini, lakukan semua yang terbaik kepada orang2 yang telah berkorban banyak bagi
masa depan anda.Sayangi dan hargailah mereka!!!" ...
Sekarang saatnya sob,, jangan tunggu nanti .. apalagi esok
..!!
Source : jeanotnahasan. blogspot .com - Grup Chinese Indonesia Facebook.