Di suatu malam
di musim panas tahun 1918 M di perbatasan barat India, tepatnya di salah satu
perkampungan miskin di Kota Surat yang menghadap ke Laut Arab, lahirlah seorang
anak dari pasangan suami istri muslim. Ia adalah anak pertama mereka ketika
mereka sudah mencapai usia tua.
Anak kecil ini
hidup sebagaimana kebanyakan anak kecil di perkampungan miskin tersebut, tidak
ada yang membedakan antara dirinya dengan lainnya dalam masalah
ketergantungannya kepada kedua orang tuanya, tidak juga kecerdasannya. Ia
memiliki wajah bulat dan gembung, kulit kehitam-hitaman, tingginya sedang,
penuh semangat. Ia selalu kagum dengan segala sesuatu dan tidak ada yang
menghentikan derasnya berbagai pertanyaan di kepalanya kecuali jika ia
dilkalahkan oleh rasa kantuknya.
Ketika usianya
mencapai 9 tahun, bapaknya mempunyai keinginan melakukan perjalanan ke negeri
lain untuk bekerja kepada anak pamannya dengan tujuan mencari pekerjaan dan
kehidupan yang lebih baik. Terasa berat kehidupan di India karena kepadatan
jumlah penduduk yang menakutkan dan di sisi lain sumber-sumber kehidupan pada
masa kekuasaan Inggris pada saat itu sedikit sekali. Oleh karena itu ia
memberitahukan maksudnya itu kepada istrinya.
Karena sangat
mencintai anaknya, maka ia ingin jika anaknya ikut bersamanya dan berjanji
kepada istrinya bahwa ia akan kembali setelah setahun. Istrinya pun merelakan
kepergiannya dengan berat hati.
Akhirnya, sang
bapak melakukan perjalanan dan menetap di Kota Dirban untuk beberapa waktu pada
tahun 1927 M. Kota tersebut adalah salah satu kota di Negara Afrika Selatan. Ia
berada di bawah tanggungan anak pamannya dan si anak di sekolahkan di sana.
Berjalanlah segala sesuatunya dengan tenang.
Ketika sudah
delapan bulan mereka tinggal disana, dan anaknya menunggu waktu untuk mendapatkan
kembali pelukan sang ibu, beberapa hari sesudahnya mereka mendengarkan kabar
wafatnya sang ibu dan kembalinya ia ke haribaan -rahimahallah- sang Pencipta.
Anak dan bapak ini terpukul dengan kabar tesebut. Akhirnya mereka memutuskan
untuk menetap di Afrika Selatan selamanya.
Sang bapak
tinggal di bagian selatan kota Dirban, di mana disana ada perkampungan bangsa
Negro. Ia melakukan banyak pekerjaan dan mampu menciptakan suasana kebapakan
untuk puteranya, seiring dengan usia dan kesehatannya yang mulai berkurang.
Setelah tujuh
tahun berselang melalui mimpi-mimpi dan cita-citanya untuk hidup lebih baik,
dan si anak menuntaskan sekolahnya hingga tingkatan menengah, berpindahlah sang
bapak menuju rahmat Allah pada tahun 1934 M yang pada saat itu usia si anak
masih 16 tahun. Akhirnya si anak meninggalkan studinya dan mencari pekerjaan
untuk hidupnya. Ia menetap di perkampungan bangsa Negro tersebut yang ia tidak
mengetahui siapa yang akan melindunginya sedangkan negerinya sendiri dan
kerabatnya berada di seberang samudera yang ia tidak mampu menyeberanginya.
Kemudian ia
bekerja di banyak pekerjaan dan berpindah dari satu pekerjaan menuju pekerjaan
yang lain, tidak lain karena benturan kebutuhan harian dan bulanannya. Akhirnya
ia mendapatikn pekerjaan dari pemilik toko beragama Nasrani. Ia adalah salah
satu dari lelaki kulit putih yang tinggal di Afrika Selatan. Pemilik toko
tersebut melihat pada diri anak itu tanda-tanda kelebihan, amanah, ikhlas, dan
kejujuran. Sedikit demi sedikit ia mempercayai anak itu dan berbuat baik
kepadanya. Segala sesuatunya berjalan lancar dan ia bekerja dengan tenang.
Suatu ketika
ketenangan tersebut terusik dengan berhembusnya “angin kencang”. Pada suatu
hari, seorang pendeta Nasrani mengunjungi teman dekatnya, penjual toko
tersebut. Di tengah pembicaraannnya, pendeta itu memalingkan perhatiaannya
kepada anak itu, yang dari wajahnya kelihatan jika ia bukan penduduk asli
Afrika Selatan.
Ia bisa
berbicara Bahasa Inggris, Bahasa Zulu [bahasa negara-negara Afrika Tengah dan
Selatan] dan Bahasa Urdu [bahasa daerah asalnya]. Anak itu memiliki wajah
berseri-seri dan cekatan dalam berkerja. Ia memerintah dan melarang,
mengorganisir pekerjaan di toko sampai tuntas dengan ikhlas. Usianya ketika itu
18 tahun atau kurang sedikit.
Pendeta
tersebut bertanya kepada temannya: “Siapa nama anak ini?”
Si pemilik
toko menjawab: “Namanya xxxxx”
Pendeta
tersebut bertanya dengan perasaan kaget: ”Seorang Muslim?”
Si pemilik
toko menjawab: “Ya!”
Maka Pendeta
itu berkata: “Tidak kah kau tahu bahwa mereka menghinakan Tuhan kita? dan
berkata bahwa Ia adalah Hamba [bukan Tuhan-ed]?”
Penjual toko
itu menimpali: ”Akan tetapi ia adalah anak yang jujur dan terpercaya!”
Pendeta itu
berkata: “Walaupun seperti itu, ia harus masuk Nasrani atau keluarkan ia tanpa
ampun!”
Akhirnya,
pendeta itu berhasil mengobarkan fitnah di hati temannya dan menyebabkannya
langsung menghadirkan anak tersebut.
Penjaga toko
itu berkata: “Aku ingin menyelamatkanmu dari kesesatan!”
Anak itu
menjawab: “Apa itu?”
Penjaga toko
tersebut berkata: “Sesungguhnya pendeta ini adalah agamawan yang mulia, ia
ingin menyelamatkan domba Tuhan yang hilang dan menolongmu agar engkau
menyelamatkan dirimu sehingga Tuhan akan memberkatimu!”
Anak ini
mengetahui konsekuensinya, yaitu murtad, maka Ia berkata: “Tidak, saya Muslim!”
Maka pemilik
toko itu berkata: “Pikirkan dulu sebelum memutuskan!”
Namun anak itu
tetap menolak karena ia tidak mengetahui kecuali ada satu sesembahan yang
berhak disembah yakni Allah, adapun Isa adalah Nabiyullah yang mulia, tidak
lebih.
Maka
berkatalah pendeta tersebut memotong pembicaraan anak itu dan marah dengan
keteguhan anak itu terhadap agamanya dan menolak murtad: “Apakah kamu tidak
tahu bahwa Islam adalah agama berhala, kalian thawaf di rumah [Ka’bah] yang
didalamnya ada batu dan Rasul kalian beristrikan 9 wanita!”
Kemudian
pendeta itu menyebutkan semua syubhat [kerancuan] bohong tentang Islam, ia
banyak bicara yang tidak satupun dapat meluluhkan hatinya. Anak itu hanya diam
untuk menghormati pemilik toko dan ia berkeyakinan bahwa pemilik toko hanya
membantu temannya sang pendeta. Akan tetapi beberapi hari sesudah itu, pemilik
toko kembali kepada kebiasaannya terdahulu yang mencela dan memerangi Islam dan
keyakinannya.
Ia tidak bisa
membantah syubhat-syubhat itu karena ia tidak tahu hal tersebut secara
sempurna. Maka ia mengambil keputusan yang berada di luar garis kehidupannya,
ia memutuskan untuk mempelajari agama Nasrani.
Mulailah anak
yang mendekati baligh ini mempelajari kitab-kitab mereka secara ilmiah. Maka ia
memperhatikan Injil, mempelajarinya hingga menghafalnya di luar kepala,
kemudian ia membandingkannya dengan Al-Quran, ia mendapati perbedaan yang
banyak. Namun ia belum merasa cukup dan belum hilang hausnya. Maka ia melakukan
perjalanan untuk membela Islam.
Pertama yang
ia ajak untuk berdebat adalah pemilik toko, tempat dimana ia bekerja. Ia
mendebatnya dan membuatnya tidak berkutik. Kemudian ia lanjutkan dengan
menantang beberapa pendeta dan ia dapat menjatuhkan mereka melalui tangan
mereka sendiri dan mereka tidak dapat mempertahankan kebenaran keyakinan mereka
di hadapan ribuan orang yang membanjiri ruang pertemuan.
Ia ingin
membungkam mulut orang Nasrani selamanya agar tidak lancang menghina Islam.
Maka ia meningggalkan pekerjaaannya pada pemilik toko nasrani tersebut. Ia
mulai menemui orang-orang Nasrani yang datang ke Afrika Selatan dan mengajaknya
berdiskusi. Ketika dialog dan debat yang ia lakukan telah banyak dan usianya
mencapai tiga puluhan tahun, maka ia memulai dialognya dengan kalangan pendeta
Nasrani.
Semenjak hari
itu, suaranya ibarat petir yang menggelegar hingga negara-negara barat yang
Nasrani, gema yang menggoncangkan aula-aula Vatikan. Pembicaraanya menggema di
barat dengan diskusi dan dialognya yang terkenal dan melambungkan reputasinya.
Dan ia terus menantang dan gaungnya tetap menggema hingga hari ini.
Pembicaraan
sekitar pertentangan dalam Injil mendorong gereja, pusat-pusat studi Nasrani
dan banyak perguruan tinggi di barat membentuk departemen tersendiri dalam
menaggapi dan mendebat dirinya dan buku-bukunya melalui penelitian dan studi
mendalam.
Pemilik toko
yang biasa dan temannya dari kalangan pendeta diatas telah menggugah akal dan
hati anak muslim ini. Mereka telah membangunkan anak yang lemah lembut itu
hingga menggemparkan dunia dan mengguncang Vatikan, menggetarkan gereja-gereja
mereka dan membongkar banyak kekeliruan dalam agama mereka.
Tahukah kalian
siapa nama anak tersebut? Anak tersebut bernama Ahmed Deedat. Oleh karena itu
orang-orang Nasrani sangat mewaspadai kemunculan Ahmad Deedat yang lain. Semoga
Allah merahmati Ahmad Deedat dan mengampuni segala dosanya