PANDUAN THAHARAH DAN SHALAT BAGI ORANG SAKIT
Pembicara : Ustad Arif Munandar
Hari : Sabtu, 31 September 2013
Waktu :
08.00 s/d selesai
Tempat :
Kampus Akhwat STIKes MADANI Yogyakarta
Seorang yang sakit
hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
Pertama,
mengimani bahwa penyakit yang menimpanya itu dengan kehendak dan takdir Allah
SWT sehingga hatinya merasa tenang, ridha dan pasrah.
Kedua, mengimani
bahwa musibah itu telah tercatat di Lauh Mahfuzh yang tidak mungkin diubah.
Ketiga, bersabar
dengan mengingat firman Allah :
“Bersabarlah
sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang bersabar” [Q.S. Al-Anfal:46]
Keempat,
gantungkan hati kepada Allah dan yakin bahwa akan ada kabar gembira setelah
musibah ini. Dalam Hadist Qudsi, Allah berfirman, “Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku” [HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah]. Nabi juga bersabda, “Yakinlah bahwa kabar gembira itu bersama kesulitan. Sungguh bersama
kesulitan terdapat kemudahan” [HR. Ahmad]
Kelima,
manfaatkanlah waktu senggang banyak-banyak ada karena sakit dengan banyak
mengingat Allah, mambaca Al-Qur’an, bertaubat dan memohonampun kepada-Nya
Keenam, jangan
adukan sakit yang menimpanya kepada siapapun kecuali kepada zat yang mampu
menghilangkannya namun tidak mengapa bercerita kepada orang lain bahwa dirinya
sedang sakit jika sekedar dalam konteks bercerita, bukan dalam konteks mengadu.
Ketujuh,
menyadari betapa besarnya nikmat sehat.
Kedelapan,
sadarilah bahwa sakit itu sebab terhapusnya dosa dan kesalahan.
Nabi bersabda, “Tidaklah
seorang muslim mengalami gangguan berupa sakit atau selainya kecuali Allah
gugurkan dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun pohon (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Nabi bersabda, “Tidaklah
ada suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah hapus dengannya
dosa-dosanya (HR Bukhari dan Muslim dari
Aisyah)
A.
Panduan
Thaharah bagi Orang yang Sakit
Pada dasarnya
orang yang sakit itu wajib ber-thaharah dengan menggunakan air dengan berwudhu
untuk menghilangkan hadast kecil danmandi untuk menghilangkan hadats besar.
Jika tidak
mampu ber-thaharah dengan menggunakan air karena memang tidak mampu, khawatir
sakit semakin bertambah parah atau kesembuhannya semakin lama maka
diperbolehkan untuk bertayamum. Cara tayamum adalah dengan meletakkan dua
telapak tangan pada tanah yang suci sekali saja lalu telapak tangan tersebut
dipergunakan untuk mengusap seluruh bagian wajah dan mengusah kedua telapak
tangan, satu telapak tangan dengan selainnya.
Jika tidak
mampu ber-thaharah sendiri bisa diwudhukan atau ditayamumkan oleh orang lain.
Jika ada luka pada bagian anggota tubuh yang wajib mendapatkan thaharah maka
pada dasarnya anggota tubuh tersebut tetap dibasuh sebagaimana biasanya. Namun
jika basuhan air itu membahayakan kesehatannya maka anggota tubuh tersebut
diusap dengan cara tangan dibasahi dengan sedikit air lalu dilewatkan pada
bagian yang luka. Jika diusap juga membahayakan kondisi tubuh maka anggota
tubuh tersebut ditayamumkan.
Jika ada
anggota badan yang mengalami patah tulang sehingga diikat dengan kain perban
atau di gips maka perban atau gips tersebut diusap dengan air sebagai ganti
dibasuh dengan air.dalam kondisi ini anggota tubuh tersebut tidak perlu
ditayamumkan karena usapan itu pengganti basuhan.
Boleh
bertayamum dengan menggunakan tembok atau sesuai yang suci asalalkan mengandung
debu. Jika tembok yang diusap dilapisi sesuatu yang tidak sejenis dengan ‘bumi’
semisal cat maka tidak tidak boleh dipergunkan untuk tayamum kecuali jika
mengandung debu.
Jik tidak
memungkinkan bertayamum langsung dengan bumi atau tembok yang mengandung debu,
maka diperbolehkan meletakkan tanah du suatu wadah tertentu untuk sarana
tayamum.
Misal, jika
seorang itu bertayamum untuk sholat dzuhur, dan dia tidak berhadats sampai tiba
waktu Shalat Ashar maka orang tersebut tidak harus bertayamum kembali untuk
mengerjakan Shalat Ashar karena dia masih dalam kondisi suci dan belum batal.
Jika si sakit
itu bertayamum karena junub, dia tidak perlu bertayamum kembali kecuali jika
kembali mengalami junub namun selama waktu tersebut dia perlu tayamum jika
terjadi hadast kecil.
Seorang yang
sakit pada dasarnya tetap berkewajiban untuk mengerjakan shalat dalam kondisi
badan bersih dari najis. Namun jika tidak memungkinkan dia tetap wajib shalat
meski badan bernajis dan shalat dalam kondisi semacam ini sah dan tidak perlu
diulangi.
Seorang yang
sakit tetap wajib mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian yang bersih.
Jika pakaian yang dugunakan terkena najis wajib dibersihkan atau diganti dengan
pakaian yang bersih. Jika tidak memungkinkan dia tetap wajib shalat meski
pakaiannya terkena najis. Shalat dalam kondisi ini sah dan tidak perlu
diulangi.
Seorang yang
sakit wajib shalat di atas sesuatu yang suci. Jika tempat yang hendak digunakan
untuk shalat mengandung najis wajib dibersihkan atau diganti dengan alas lain
yang suci atau minimal dilapisi alas lain yang suci. Jika tidak menungkinkan
tetap wajib shalat dalam kondisi demikian dan shalatnya sah serta tidak perlu
diulangi.
Seorang yang
sakit tidak boleh menunda shalat sehingga waktunya berakhir karena alasan tidak
mampu ber-thaharah dengan benar. Yang tepat, dia berthaharah sebisanya kemudian
mengerjakan shalat pada waktunya meski ada najis yang tidak bisa dihilangkan di
badan, pakaian dan tempat shalat mengingat firman Allah yang artinya, “Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal
mungkin kemampuan kalian” (Q.S.
At-Taghabun : 16)
B.
Panduan
Shalat bagi Orang yang Sakit
Seorang yang sakit tetap
berewajiban untuk shalat fardhu sambil berdiri meski tidak bisa berdiri tegak,
bersandar pada tembok atau tongkat yang memang diperlukan untuk dijadikan
sandaran. Jika tidak mampu shalat sambil berdiri maka shalat dikerjakan sambil
duduk. Yang lebih afdhol bentuk duduknya adalah bersila saat posisi berdiri dan
ruku’.
Jika tidak mampu shalat sambil
duduk maka shalat dikerjakan sambil berbaring
menghadap kiblat. Berbaring miring ke kanan itu yang lebih baik. Jika
tidak memungkinkan sambil menghadap ke kiblat maka berbaring meski tidak
menghadap kiblat dan sah shalatnya, tidak perlu diulangi.
Jika memang tidak mampu shalat
sambil berbaring maka shalat dikerjakan sambil terlentang dengan posisi kaki ke
arah kiblat. Jika kaki tidak mungkin menghadap ke arah kiblat maka shalat
sebisanya dan itu sudah sah, tidak perlu diulangi.
Orang yang sakit berkewajiban
untuk melakukan gerakan ruku’ dan sujud secara normal. Jika tidak mampu, ruku’
dan sujud diganti dengan isyarat kepala. Saat sujud posisi kepala lebih rendah
dari pada saat ruku’. Jika tidak mampu ruku’ secara normal namun tidak mampu
sujud wajib ruku’ seperti biasa saat ruku’ dan berisyarat dengan kepala saat
sujud. Demikian pula jika mampu bersujud secara normal namun tidak mampu ruku’
maka gerakkan sujud dilakukan seperti biasa sedangkan ruku’ diganti dengan
isyarat.
Jika si sakit tidak mampu
berisyarat dengan kepala saat ruku’ dan sujud maka dia berisyarat dengan mata.
Caranya dengan memejamkan mata sejenak untuk ruku’ dan agak lama untuk sujud.
Sedangkan isyarat dengan jari sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang
yang sakit adalah tindakan yang tidak benar, karena tidak memiliki dasar dari
Al-Qur’an, hadist ataupun pendapat ulama.
Jika tidak mampu berisyarat dengan
kepala ataupun mata gerakkan shalat cukup diniatkan saja. Dia bertakbir ikhram
dan membaca Surat Al-Fatihah seperti biasa lantas berniat dalam hati untuk
ruku’, sujud, i’tidal dan duduk dengan tetap membaca dzikir yang dianjurkan saat dalam posisi gerakan
gerakan di atas. “Masing-masing orang itu mendapatkan sebagaimana apa yang dia
niatkan”.
Si sakit wajib mengerjakan shalat
fardhu pada waktunya masing-masing dan mengerjakan apa yang wajib dilakukan
sebisa mungkin. Jika kesulitan mengerjakan shalat pada waktunya masing-masing
maka orang yang sakit itu boleh menjamak Shalat Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib
dengan Isya’, boleh dengan bentuk Jama’ Taqdim ataupun Jama’ Takhir tergantung
manakah yang lebih mudah untuk dilakukan tentu saja Shalat Subuh tidak bisa di
jama’ dengan Shalat Isya’ ataupun Shalat Dzuhur...
Sumber : Kajian Live bersama Ustad Arif Munandar